I. Pendahuluan
Praktik
suap menyuap di Indonesia sudah menjadi kebiasaan yang lumrah.
Khususnya dalam institusi pelayanan yang berkaitan dengan publik.
Memberikan uang atau barang dalam rangka mempercepat proses yang
berkaitan dengan birokrasi. Pemberian itu sebagai tanda agar dipercepat
urusannya tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
Terlalu lumrahnya praktik kotor ini, Deputi Bidang Informasi dan Data KPK DR M
Syamsya Ardisasmita DEA menyebutkan, Transparency International, sebuah
organisasi non-pemerintah yang giat mendorong pemberantasan korupsi,
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia.
Berdasarkan hasil surveynya, Indonesia nilai Indeks Persepsi Korupsinya
(IPK) pada tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10
sangat bersih. Indonesia jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang
disurvei. IPK ini merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan
persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha)
terhadap tingkat korupsi di suatu negara.
Hasil
tersebut tidak jauh berbeda dengan Survey Nasional Korupsi yang
dilakukan oleh Partnership for Governance reform yang dikutip Demartoto
(2007). Hampir setengahnya atau 48 persen dari jumlah pejabat yang ada
di Indonesia pernah menerima pembayaran tidak resmi alias suap.
Baru-baru ini, contoh pejabat publik yang terjerat kasus suap adalah Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Pada
Oktober 2011 lalu, Wali Kota Bekasi Moctar Muhammad sujud syukur
setelah Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis
bebas. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Mahkamah Agung (MA)
menganulir keputusan bebas Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pindana
Korupsi (7/3/2012). MA berdalih bahwa politisi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan itu terbukti menyuap dan menerima suap.
MA
menjelaskan, Mochtar terbukti melakukan penyuapan kepada anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi Jawa Barat. Modusnya, ia meminta pimpinan
satuan kerja di Pemerintah Kota Bekasi untuk menyisihkan dua persen uang
proyek sampai terkumpul Rp 4,5 miliar. Atas perintah Mochtar, Rp 4
miliar itu diberikan kepada anggota DPRD Jawa Barat agar Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi segera disetujui.
Kasus
serupa menimpa Soemarmo, wali kota Semarang. Pria yang juga diusung
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjadi tersangka dalam
kasus suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan
2012. Pria yang sebelumnya berkarir sebagai sekretaris daerah ini telah
ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Cipinang selama 20 hari Sejak 30 Maret
lalu.
Kasusnya
teruangkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap 2 Anggota
DPRD Sumartono dan Agung Pumo Sarjono serta Sekda Akhmat Zaenuri pada
Oktober 2011 lalu. Ketiganya telah ditahan lebih dulu.
II. Suap: Pengertian dan Faktor Penyebabnya
Muladi (dalam Alkostar, 2008, h.10) menjelaskan, suap (bribery) bermula dari kata briberie (Prancis) yang artinya begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandang). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ‘a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis. Seiring dengan berjalannya waktu, bribe bermakna “sedekah’ (alms), blackmail atau extortion
(pemerasan) dalam kaitannya dengan pemberian atau hadiah yang diterima
atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup.
Tidak jauh berbeda, Campbell (dalam Alkostar 2008, h.10) bribery juga bisa berarti the
offering, giving, receiving or soliciting of someting of value for the
purpose of influence the action an official in the discharge of his of
her public or legal duties. Penawaran, pemberian, penerimaan atau
pengumpulan sesuatu yang berharga dengan tujuan untuk mempengaruhi
tindakan pegawai dalam pelaksanaan tugasnya secara umum atau legal.
Sementara
Transparansi International (dalam Simanjuntak, 2008, h.1)
mendefinisikan secara operasional, suap itu merupakan tindakan membayar
uang secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan atau kemudahan dalam
proses birokrasi.
Muladi
menilai, suap menyuap yang dilakukan secara bersama-sama dengan
penggelapan dana-dana publik sering disebut sebagai inti dari tindak
pidana korupsi. Wikipedia Indonesia menjelaskan (dalam www.wikipedia.org), korupsi dalam bahasa Latin berarti corruptio. Kata kerjanya corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik dan menyogok.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat baik politikus atau
politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari
sudut pandang hukum, unsur-unsur yang mencakup tindak pidana korupsi;
perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau
sarana prasana; memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi;
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain
itu, masih merujuk pada Wikipedia, yang masuk dalam tindak pidana
korupsi: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam
pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara; terakhir,
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara).
Menurut
Juniadi Soewartojo (dalam Demartoto, 2007, h. 22-35), korupsi adalah
tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar
norma-norma dengan menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan atau
kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan, penerima atau
pemberian fasilitas atau jasa lainnya, yang dilakukan dalam kegiatan
penerimaan dan atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang
atau kekayaan, serta dalam perizinan atau jasa lainnya dengan tujuan
pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan
kepentingan dan atau keuangan dan atau kekayaan negara atau masyarakat.
Wertheim
(dalam Revida, 2003, h.2), seseorang pejabat publik dikatakan melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang, orang yang menawarkan
hadiah dalam bentuk jasa juga termasuk dalam korupsi.
Sedangkan
Masyarakat Transparansi Indonesia (dalam Renaldi, 2007, h.54)
memberikan pengertian bahwa tindakan disebut korupsi apabila suatu
perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya
suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai
menerima uang yang ada hubunganya dengan jabatan tanpa ada catatan
administrasi.
Ada
pun menurut sudut pandang hukum, suatu tindakan dinyatakan sebagai
korupsi telah dijelaskan secara jelas dalam 13 pasal dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasar-pasal tersebut
korupsi dirumuskan kedalam 30 jenis tidak pidana korupsi. Pasal-pasal
tersebut menerangkan secara gamblang mengenai perbuatan yang bisa
dikenalkan sanksi pidana korupsi. Ketigapuluh bentuk tindak pidana
korupsi itu dikelompokan menjadi tujuh:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan dalam pengadaan
7. Gratifikasi.
Ciri-ciri korupsi ini, menurut Alatas (1981) dalam
Demartoto (2007, h.89-102), diantaranya: pertama, dilakukan secara
berjamaah. Kedua, bersifat rahasia dalam bertindak. Ketiga, melibatkan
kewajiban dan timbal balik, dimana kewajiban atau keuntungan itu tidak
melulu berupa uang. Ada pun penyebab tumbuh suburnya korupsi adalah
adalah:
a. Ketiadaan
kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan
ilham dan mempengaruhi tindakan laku yang menjinakan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Peninggalan jaman kolonial.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Tiadanya tindakan hukum yang keras
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
Penelitian Sing (1974) dalam Revida (2003, h.2) menemukan bahwa terjadinya korupsi di India adalah karena kelemahan moral
(41,3 %), tekanan ekonomi (23,8 %), hambatan struktur administrasi
(17,2%) hambatan struktur sosial (7,08 %). Merican (1971) dalam Revida
(2003, h.3) mengurai sebab-sebab korupsi adalah peninggalan pemerintahan
kolonial, kemiskinan dan ketidaksamaan, gaji yang rendah, pengaturan
yang bertele-tele dan pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Sementara Ainan (1982) dalam Revida (2003, h.3), tindakan korupsi yang
begitu marak bisa disebabkan karena;
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba-loma untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f. Lain dengan di Nigeria, orang tidak dapat menolak suapan dan korupsi kecuali menganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Ketika orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari
pendapat para ahli itu, bisa penulis bisa menyimpulkan bahwa
sebab-sebab tumbuh suburnya korupsi tidak lepas dari: income atau
pendapatan seorang pegawai yang kurang sehingga untuk menambah
pengahasilannya, ia berkorupsi atau menerima sogokan. Kedua, masih ada
kaitannya dengan faktor yang pertama, adalah mental pegawai yang ingin
cepat kaya dengan cara instan sehingga melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Ketiga,
tindakan korupsi tidak bisa lepas dari sejarah masa lalu, atau
peninggalan kolonialisme. Bangsa Indonesia telah dijajah selama 3,5 abad
oleh Belanda. Tidak bisa lepas dari masa lalu. Keempat, nilai-nilai
atau pemahaman etika yang minim dari para pelaku pengambil kebijakan
atau pegawai. Kelima, penegakan hukum yang masih kurang. Setumpuk
peraturan baik itu perundang-undangan atau peraturan lain dibuat, namun
tidak dilaksanakan sehingga menjadi macan kertas saja yang tidak
berfungsi apa-apa.
III. Dampak Suap-Menyuap
Korupsi
termasuk di dalamnya suap-menyuap memberikan dampak yang sangat luar
biasa terhadap tatanan roda pemerintahan. Nye (dalam Revida, 2003, h.3)
menjelaskan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi menjadikan: pertama,
pemboroan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman
modal, terbuangnya keahlian serta bantuan yang lenyap. Kedua,
ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilalihan kekuasaan
oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. Ketiga,
pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas
administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Sedangkan
Mc Mullan (1961) dalam Revida (2003, h.3) menyatakan bahwa korupsi
memiliki dampak yang sangat signifikan. Pertama, ketidakefisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan
sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama
perusaah asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijakan
pemerintah dan tidak represif.
Dari
uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa bila suap-menyuap tidak
diberantas, maka kepercayaan masyakarat terhadap pemerintah akan
berkurang. Sehingga mereka akan melakukan caranya sendiri-sendiri dalam
menyelesaikan setiap masalah terutama yang berurusan dengan hukum.
Selain
itu, suap menyuap juga menjadikan biaya operasional pemerintahan
menjadi membengkak. Anggaran yang seharusnya diprioritaskan untuk
kesejahteraan masyarakat, malah masuk ke kantong-kantong pribadi
pejabat, atau memperkaya diri.
IV. Solusi
Lalu bagaimanakah menindak pola suap dan korupsi ini? World Bank (dalam
Demartoto, 2007, h. 89-102) memberikan tiga rekomendasi bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi dibutuhkan penyelesaian yang
komprehensif. Yaitu, pertama, membangun birokasi yang berdasarkan
ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai
negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan prestasi dan sistem
promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi
politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk
mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrasi.
Kedua,
menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan
koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan
kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan. Ketiga, menegakan
akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan
mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik juga hendaknya memberdayakan
fungsi kontrol dan pengawasan publik.
Sedangkan Organisation for Economic Co-Operation Development (OECD) (dalam
Jeremy Pope, 2008) telah mengembangkan prinsip-prinsip untuk
memberantas korupsi secara sistematik. Prinsip-prinsip ini dapat
disesuaikan dengan keadaan setiap negara. Sekalipun tidak memadai,
prinsip-prinsip ini bisa digunakan acuan. Prinsip tersebut adalah:
a. Standar etika pelayanan publik harus jelas.
b. Standar etika ini harus tercermin dalam kerangka hukum.
c. Harus tersedia pedoman etika bagi pegawai negeri.
d. Pegawai negri harus tahu hak dan kewajiban ketika dihadapkan pada prilaku tercela.
e. Dukungan kemauan politik pada etika dapat memperkuat perilaku etis pada pegawai negeri.
f. Proses pengambilan keputusan harus transparan dan terbuka untuk diuji.
g. Harus ada pedoman yangjelas untuk interaksi sektor publi dengan sektor swasta.
h. Pimpinan harus memberikan teladan dan mendorong perilaku beretika.
i. Kebijakan pengelolaan perilaku prosedur dan praktik beretika harus mendorong perilaku beretika itu sendiri.
j. Persyaratan kerja pelayanan publik dan pengelolaan sumber daya manus harus dapat mendorong perilkau beretika.
k. Harus ada mekanisme pertanggungjawaban yang memadai dalam pelayanan publik.
l. Harus ada prosedur dan sanksi yang tepat untuk menghadapi perilaku tercela.
Kartono (1983) dalam Revida (2003, h.4) memberikan saran untuk pembasmian korupsi sebagai berikut: Pertama, adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
Kedua, menanamkan aspirasi nasional yang positif yang mengutakan
kepentingan bangsa. Ketiga, para pemimpin dan pejabat memberikan
teladan, memberantas dan menindak korupsi.
Keempat,
adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi. Kelima, mereorganisasi dan merasionalisasi dari
organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departeman beserta
jawatan di bawahnya. Keenam, adanya sistem penerimaan pegawai
berdasarkan achievment dan bukan berdasarkan ascription.
Tujuh, adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah. Delapan, menciptakan aparatur pemerintah yang
jujur. Sembilan, sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang
mempunyai tanggung jawab etis tinggi dibarengi sistem kontrol yang
efisien; terakhir, pencatatan ulang terhadap kekayaan peroraan yang
mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Achmad
Fauzi SHI calon hakim di Pengadilan Agama Balikpapan secara spesifik
memberikan solusi atas suburnya suap, dengan tranparenscy. Baginya,
tumbuh suburnya praktik suap karena
tersumbatnya kran informasi sehingga menghambat hak publik untuk
mengontrol secara langsung etos kerja aprat. Mengutif Jeremy Bentham,
Fauzi menjelaskan bahwa setiap budaya ketertutupan selalu ada
kepentingan jahat yang menungganginya. Jadi sepanjang tidak ada
keterbukaan, selama itu pula keadilan tidak akan tegak.
V. Kesimpulan
Suap
menyuap merupakan tindakan menyalahgunakan kekuasaan dalam rangka
tujuan pribadi atau kelompoknya dalam rangka mempercepat proses
birokrasi. Tindakan ini tidak dibenarkan karena bisa merugikan negara.
Disamping itu, bisa menghambat pembangunan. Anggaran yang seharusnya
digunakan untuk kepentingan masyarakat jadi beralih untuk kepentingan
sendiri atau kelompok.
Untuk
itu, cara penanggulangannya adalah dengan supremasi hukum. Artinya,
institusi penegak hukum harus bertindak terhadap para penyelenggara
pemerintahan bila mana ada yang melakukan suap menyuap. Keterbukaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, peran serta
masyarakat dalam membasmi penyakit ini sangat dibutuhkan.
Daftar Pustaka
Buku
Alkostar, SH LLM, DR, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta
Jeremy, Pope, 2008, Strategi Memberantas Korupsi, Tansparansi Internasional dan Transparansi Internasional Indonesia, Jakarta
Renaldi, Taufik, dkk, 2007, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, Bank Dunia
Simanjuntak, Frenky, Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap, Transparansi Internasional Indoensia, USAID dan Millenium Challenge Corporation
Artikel Jurnal
Demartoto, Argiyo, 2007, Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Spirit Publik, No. 2 Tahun 2007,
Makalah
Ardisasmita DEA, M Syamsa, Dr, Definisi Korupsi Perspektif Hukum dan E-Announcement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparan dan Akuntabel,
disampaikan dalam Seminar Nasional Upaya Perbaikan Sistem
Penyelenggaraan Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, 23 Agustus
2006.
Revida, Erika Dra, MS, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumetera Utara.
Fauzi SHI, Achmad, Membendung Godaan Suap Penegak Hukum
Majalah dan Koran
Majalah Tempo, 25 Maret 2012.
Harian Detik Sore, 11 April 2012.
Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi