This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Entri Populer

Minggu, 03 November 2013

Cara Hp jadi Tembus Pandang

Sebenarnya gak niat untuk jiplak sih, tp gak da salahnya kan kl aq ikt mempublikasikan, kali aja bermanfaat untuk sobat sobat hehehhehe

Cara untuk membuat kamera HP menjadi tembus pandang dengan mudah

Saya akan membuat postingan tentang Cara Mudah Membuat kamera HP menjadi Tembus Pandang , saya menemukan cara ini dari forum ternama yaitu kaskus. Cara ini dijamin bekerja dan mudah.
Cara ini berjalan di semua jenis HP, Saya sudah coba menggunakan HP yang 1,3 mp dan 2 mp, dan berhasil SUKSES. Makin bagus piksel HPnya, makin Bagus pula hasilnya.Tapi syaratnya kamera hp anda harus 1.3mp ke atas dan harus ada efek sepianya.

Kenapa bisa begitu??,,karena dalam kasus ini kita tidak mengandalkan infra merah tapi disini kita mengandalkan efek sepia. Apabila anda tau efek sepia apaan?, efek sepia yaitu, efek-efek yang ada di kamera HP, kan ada yg itam putih, klise, shepia,warna terbalik,dsb.kalo anda tidak tahu, berarti anda terlalu gaptek sorry jangan marah.
Oke lanjut ke tahap berikutnya.
Sebelum praktek, Alat-alat yg harus agan siapkan adalah:
1. HP yg 1.3mp
2. HP harus ada efek sepianya
3. Bungkus rokok, disini saya selalu menggunakan bungkus rokok Djarum Super, kalo yang lain saya belum coba hehehe. (tapi saya bukan perokok)
4. Jarum Pentol atau Jahit, tapi kalo bisa pake jarum yang ukuranya paling kecil.

UPDATE!!!
Sebelum anda melakukan Cara Mudah Membuat kamera HP menjadi Tembus Pandang, sebaiknya anda mencoba cek handphone. (untuk mengetahui apakah hp anda mendukung caranya atau tidak) dengan cara : Rekam atau Foto ke Remot Tv, dan apabila ada cahaya kilat di sensor remotnya berarti hp anda caranya berjalan di hp anda

PENTING!!! : Cara diatas tidak berjalan apabila pakaiannya berbahan sintetis, dan hanya berjalan di bahan alami.
Saya tidak bertanggung jawab terhadap cara diatas karena bukan saya penemunya hehehe.
Semoga menambah wawasan... :)

lihat tutorialnya disini
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=_CWh2EGAvAE

Minggu, 27 Oktober 2013

Problem Etis dalam Pembiayaan Pendidikan: Pemiskinan Negara, Kepentingan Publik, dan Otonomi Pendidikan Masyarakat



Pembiayaan Pendidikan

 

 

Problem Etis dalam Pembiayaan Pendidikan: Pemiskinan Negara, Kepentingan Publik, dan Otonomi Pendidikan Masyarakat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun Oleh:

Tutik

7101411194

Pendidikan Ekonomi Koperasi A 2011

 

 

 

 

PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013/2014

 

Problem Etis dalam Pembiayaan Pendidikan: Pemiskinan Negara, Kepentingan Publik, dan Otonomi Pendidikan Masyarakat

 

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. (6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
Dalam berbagai level kehidupan, pendidikan memainkan peran yang sangat strategis. Pendidikan memberi banyak peluang untuk meningkatkan mutu kehidupan. Dengan pendidikan yang baik, potensi kemanusiaan yang begitu kaya pada diri seseorang dapat terus dikembangkan. Pada tingkat sosial, pendidikan dapat mengantarkan seseorang pada pencapaian dan strata sosial yang lebih baik. Secara akumulatif, pendidikan dapat membuat suatu masyarakat lebih beradab. Dengan demikian, pendidikan, dalam pengertian yang luas, berperan sangat penting dalam proses transformasi individu dan masyarakat.
Kewajiban negara untuk menyediakan dan memenuhi hak warga negara atas pendidikan dibangun di atas asumsi yang terkait erat dengan bagaimana kehidupan bermasyarakat terbentuk. Dalam teori kontrak sosial, dijelaskan bahwa masyarakat politis terbentuk berkat adanya kontrak atau konsensus nasional. Ada kesepakatan bersama tentang nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat dan tujuan yang dihendak diraih. Kesepakatan ini juga terkait dengan sarana, proses, dan prosuder pelaksanaannya (Sugiharto & Rachmat W., 2000: 46-47). Dalam konteks Indonesia, hal ini tergambar dalam Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945.

Kewajiban Negara
Dunia pendidikan di Indonesia saat tahun 2009 menghadapi banyak masalah. Di antara yang utama adalah soal akses. Menurut data Depdiknas, pada tahun pelajaran 2007/2008, 2,2 juta anak usia wajib belajar (7-15 tahun) tidak menikmati pendidikan dasar sembilan tahun terutama karena faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran orangtua. Untuk anak usia 16-18 tahun, ada 5,5 juta yang tidak sekolah. Sedangkan usia 19-24 tahun, 20,7 juta tidak mengenyam bangku kuliah.
Akses yang sulit ini menjadi semakin problematis ketika kesenjangan akses pendidikan ini dalam kasus tertentu didukung oleh kebijakan negara.  Warisan utang luar negeri yang menggunung telah berakibat pada berbagai sektor kepentingan publik. Pada tahun 2003, total utang Indonesia mencapai US$ 150 miliar. Jumlah ini melampaui produk domestik bruto (GDP) yang dihasilkan Indonesia. Pada 2004, total pembayaran bunga pinjaman memakan 92,67% total penerimaan negara, yakni sebesar US$ 7,9 miliar. Karena beban pembayaran utang begitu tinggi, maka dampak yang paling terasa oleh masyarakat saat ini adalah pengurangan subsidi untuk berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian, dan sebagainya.
Korupsi terjadi di mana-mana, mulai dari lembaga pemerintah, BUMN, lembaga legislatif, bahkan juga dalam dunia pendidikan. Tyas menguraikan bahwa dana pinjaman untuk beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DBO) untuk membantu sektor pendidikan pada saat krisis ternyata juga banyak mengalami kebocoran dan salah sasaran. Temuan Tim Pengendali Program JPS yang diketuai Mar’ie Muhammad memaparkan bahwa salah sasaran program beasiswa SD-SMTA mencapai 60%. Pada saat yang sama pemerintah justru mengucurkan dana BLBI yang mencapai 144 triliun rupiah untuk para pengusaha yang hingga kini penyelesaiannya masih gelap.
Sementara itu, inefisiensi terjadi baik terkait dana pendidikan, dana negara, atau dana masyarakat. Karena tak efisien, dana yang memang terbatas itu jauh dari sasaran, bocor ke mana-mana, atau diterima oleh orang yang tidak tepat.

Peran Serta Masyarakat
Terkait dengan pembiayaan pendidikan, saat ini sangat banyak lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (swasta), pada titik inilah soal partisipasi masyarakat menemukan poin pentingnya untuk didiskusikan lebih mendalam. Negara memang punya kewajiban untuk membiayai pendidikan (atau, secara umum, menyediakan pendidikan bagi setiap warga negara). Akan tetapi, kewajiban dan wewenang negara ini haruslah diberi batasan dan kerangka yang jelas.
Secara umum, perlu ditegaskan bahwa fungsi negara pada dasarnya bersifat subsider. Negara bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Akan tetapi dibuat untuk mendukung upaya masyarakat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Negara harus memberi ruang kepada masyarakat (dan anggota-anggotanya) untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam hal menentukan apa yang mereka butuhkan. Jika wewenang negara tidak dibatasi dan meliputi semua segi kehidupan masyarakat, maka itu disebut negara totaliter.

BHP: Pendidikan dan Pemiskinan
Polemik dalam tubuh pendidikan Indonesia pasca orde baru tak kunjung berhenti bahkan beralih dari satu permasalahan ke permasalahan lain. Diawali dengan kemunculan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU SISDIKNAS) pada tahun 2003 sampai pada RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang saat ini sedang menjadi trend perdebatan di mana-mana. Penulis melihat retorika yang berkembang berkaitan dengan kemunculan RUU BHP semakin melebar kemana-mana dan menjauh dari esensi permasalahan yang sebenarnya yaitu pendidikan dan realitas kemiskinan di Indonesia.
Sebelum masuk lebih jauh kedalam permasalahan yang mengiringi usaha pemerintah mengajukan RUU BHP, akan lebih baik bila kita pahami dulu latar belakang kemunculan RUU BHP dari berbagai perspektif. Diharapkan melalui pemahaman yang komprehensif, kita bisa lebih objektif menyikapi permasalahan RUU BHP. RUU BHP, pada awalnya, dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara yayasan dan pihak pengelola satuan pendidikan (perguruan tinggi). Kemunculan RUU ini berangkat dari realitas buruknya hubungan antara yayasan sebagai pemilik dan pengelola sebagai pelaksana pendidikan. Buruknya hubungan yang terjalin diakibatkan oleh miskonsepsi tentang manajemen operasional di tingkat satuan pendidikan. Belum adanya peraturan yang jelas mengenai pembagian kewenangan atau otoritas bagi kedua kubu (Yayasan dan pengelola) dalam satuan pendidikan. Sekali lagi harus diakui bahwa ternyata permasalahannya tetap berkutat di wilayah pembagian kekuasaan.
Setelah mengalami banyak revisi sejak tahun 2002 bersama dengan RUU yang lain (RUU dosen dan guru), legislative (komisi XDPR) merasa penting untuk kembali mendesak pemerintah untuk mengusung RUU BHP ke tingkat yang lebih tinggi yaitu legalisasi. Namun, RUU BHP yang terbaru tidak lagi sekedar berlaku bagi Perguruan Tinggi namun sudah menjalar ke wilayah pendidikan dasar (SD, SMP atau sederajat) dan menengah (SMU, SMK atau sederajat) seperti termaktub dalam RUU BHP bab 1 pasal 1 ayat 3.
Perdebatan yang muncul ke arena pembahasan RUU BHP, saat ini, sebagian besar muncul dari kalangan yayasan pendidikan yang dalam hal ini adalah swasta. Hal ini wajar karena dalam salah satu pasalnya ( bab 3 pasal 3 ayat 1 dan 2), RUU BHP menegasakan adanya pengalihan kekayaan yayasan atau penyelenggara awal kepada BHP yang terbentuk. Bagi yayasan hal ini sangatlah merugikan mengingat satu-satunya sumber kekayaan yayasan akan dikuasai oleh lembaga baru bernama BHP. Sekali lagi kita lihat adanya konflik kepentingan yaitu mengenai kekuasaan (pemerintah versus pemilik satuan pendidikan).
Lepas dari perdebatan di sekitar retorika kekuasaan dalam BHP, sangat baik bila kita mulai merenungkan beberapa imbas yang mungkin terjadi setelah RUU ini disahkan terutama bagi rakyat miskin. Seperti yang termaktub dalam pasal 2 ayat 5 item b mengenai penegasan otonomi pendidikan bagi penyelenggara dan pengelola satuan pendidikan, dapat diindikasikan bahwa pemerintah tidak memiliki tanggung jawab rutin dalam pembiayaan pendidikan. Bila indikasi tersebut benar terjadi maka jelas rakyat harus berjuang sendiri mengelola pendidikan termasuk dalam hal pembiayaan rutin operasional. Melihat fakta bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih terbelit dalam lingkaran kemiskinan, ramalan kehancuran pendidikan Indonesia menjadi semakin nyata terlihat. Semakin banyak anak bangsa ini yang tak lagi mengenyam pendidikan yang layak.


Sumber :
Aditjondro, George Junus, 2003, Korban-Korban Pembangunan: Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan Lingkungan di Tanah Air, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baswedan, Anies, 2010, “Guru sebagai Garda Depan Indonesia”, Jawa Pos, 26 Juli 2010.
Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, Pustaka Yashiba.
Darmaningtyas, 2010, “Kasta dan ISO di Sekolah”, Kompas, 2 Juni 2010.
Illich, Ivan, 2000, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, terj. A. Sonny Keraf, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Franz, 1994, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Cetakan IV, Jakarta: Gramedia.



Selasa, 04 Desember 2012

Barang Kena Pajak Strategis Bebas PPN


Kamis, 26 Juli 2012 - 09:11

DASAR HUKUM
  1. Undang-undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16B
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 tentang pelaksanaan PPN yang dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis
  4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-234/PJ/2003 tentang tata cara pemberian dan penatausahaan PPN yang dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-95/PJ/2010 tentang penegasan perlakuan PPN atas BKP dan/atau JKP tertentu dan/atau BKP Tertentu yang bersifat strategis yang diekspor dan barang hasil pertanian yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.(Pasal 16B ayat (3) UU No.42 Tahun 2009)
JENIS BKP YANG DIBEBASKAN (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008)
  1. Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak (harus menggunakan SKB). Tatacara permohonan SKB PPN untuk barang modal terdapat pada Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-234/PJ/2003.
  2. Makanan ternak, unggas dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan. impor/ penyerahannya tidak memerlukan permohonan SKB PPN.
  3. Barang hasil pertanian (terbatas pada jenis BKP yang terdapat pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007. Impor/penyerahannya tidak memerlukan permohonan SKB PPN.
  4. Bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan
  5. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum. Yang dimaksud dengan Perusahaan Air Minum adalah perusahaan air minum milik pemerintah atau swasta, baik merupakan kegiatan dari satu divisi atau seluruh divisi dari perusahaan tersebut yang dalam kegiatan usahanya menghasilkan dan melakukan penyerahan air bersih. ( lebih lanjut diatur pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-118/PJ/2009). Penyerahannya tidak memerlukan permohonan SKB PPN.
  6. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt. penyerahannya tidak memerlukan permohonan SKB PPN.
  7. Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) dengan kriteria tertentu (Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008). Penyerahannya tidak memerlukan permohonan SKB PPN.
KETENTUAN UMUM
  1. Orang atau badan yang melakukan penyerahan BKP Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari PPN wajib melaporkan usahanya kepada DJP untuk dikukuhkan sebagai PKP Sesuai dengan ketentuan perpajakan  yang berlaku.
  2. Menyimpang dari ketentuan pada nomor 1 diatas, terhadap orang atau badan yang semata-mata melakukan penyerahan BKP Tertentu yang bersifat Strategis berupa air bersih (yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum) dan listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt), tidak diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 pasal 6 ayat 2)
  3. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan BKP tertentu yang bersifat strategis wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NO 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007." (Pasal 6 ayat (3) PMK 31/PMK.03/2008)
  4. Atas Impor BKP Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN tidak diperlukan SSP.
  5. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atas impor BKP dibubuhi cap "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NO 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007 oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai";.(Pasal 5 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008)
ISI SE-95/PJ/2010
  1. BKP Tertentu dan/atau JKP Tertentu dan/atau BKP Tertentu yang bersifat strategis yang diekspor tetap dikenai PPN dengan tarif 0%
  2. PPN yang dibayar oleh PKP untuk menghasilkan BKP Tertentu dan/atau JKP Tertentu dan/atau BKP Tertentu yang bersifat strategis yang diekspor tetap dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
  3. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 mulai 1 April 2010 maka :
    1. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; dan
    2. Peraturan Pemerintah Nomor 146 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan; Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003;
    masih tetap berlaku sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah yang menggantikan Peraturan Pemerintah  tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaiman telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Khusus untuk barang hasil pertanian sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tetap berlaku sebagai BKP Tertentu yang bersifat strategis kecuali untuk daging, telur, susu, sayuran dan buah-buahan yang telah ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4A Undang-Undang PPN.

    sumber :http://www.depkeu.go.id/Ind/
     

Minggu, 02 Desember 2012

Seri Koperasi - Perpajakan Bagi Koperasi

Pendahuluan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan ditegaskan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Koperasi termasuk sebagai Wajib Pajak badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Secara umum kewajiban perpajakan koperasi adalah :
  1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan/atau PKP
  2. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Badan
  3. Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan
  4. Melakukan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
  1. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib ajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  2. Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir permohonan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP:
    1. Akte Pendirian dan perubahan atau surat penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
    2. NPWP pimpinan/penanggung jawab badan (koperasi);
    3. Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab;
Pelaporan Usaha untuk Pengukuhan PKP
Koperasi yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil (600 Juta), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya. Dengan pengukuhan sebagai PKP maka Koperasi terikat pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai.

Menghitung, Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Koperasi
Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
  1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha;
    4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
  6. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  7. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  8. royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
  9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
  13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. premi asuransi;
  15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan;
  19. surplus Bank Indonesia.
Menghitung Penghasilan Kena Pajak setahun
Biaya-biaya Operasional           Rp. BBBB
Penghasilan Neto                      Rp. CCCC
Koreksi Fiskal (positif/negatif) Rp. DDDD
Penghasilan Kena Pajak             Rp. XXXX
Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
  1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
    1. biaya pembelian bahan;
    2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
    3. bunga, sewa, dan royalti;
    4. biaya perjalanan;
    5. biaya pengolahan limbah;
    6. premi asuransi;
    7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
    8. biaya administrasi; dan
    9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
  2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
  3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
  4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
  5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
  6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
  7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
  8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
    1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
    2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
    3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
    4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU Pajak Penghasilan;
    yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
    di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
  13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
  1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
  3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
    1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
    2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
    3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
    4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
    5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
    6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
  5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
  7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU Pajak Penghasilan serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
  8. Pajak Penghasilan;
  9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
  10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
  11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Menghitung Pajak Terhutang
  1. Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU Pajak Penghasilan sebagai berikut:
    Lapisan Penghasilan Kena PajakTarif Pajak
    untuk seluruh lapisan Penghasilan Kena Pajak28%
    * Mulai Tahun Pajak 2010, tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b menjadi 25%.
    Contoh:
    Penghasilan Kena Pajak Rp. 51.000.000.000,00, maka perhitungan pajak terutangnya:
    28% X Rp. 51.000.000.000,00 = Rp. 14.280.000.000,00
  2. Koperasi yang peredaran bruto setahun tidak melebihi Rp 50.000.000.000,00 dan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00.
    Contoh : Peredaran bruto sebesar Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00
    Cara penghitungannya :
    1. Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
      (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 =
      Rp480.000.000,00
    2. Jumlah PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp3.000.000.000,00-Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000
    Pajak Penghasilan yang terutang:
    1. (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
    2. 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00 (+)
    Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp772.800.000,00
Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan
  1. PPh Final/ Pasal 4 ayat (2)
    1. 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final.
    2. 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
    3. 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
    4. 25% dari jumlah bruto hadiah undian (nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura).
    5. 2% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha kecil, dan bersifat final.
    6. 3% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha menengah dan besar, dan bersifat final.
    7. 4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi bagi yang tidak bersertifikasi usaha konstruksi, dan bersifat final.
    8. 4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha konstruksi, dan bersifat final.
    9. 6% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi bagi yang tidak bersertifikasi usaha konstruksi, dan bersifat final.
  2. PPh Pasal 21 atas Penghasilan Karyawan
    PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi dari pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukannya
    Cara Perhitungan:
    Penghasilan Bruto                                                Rp. AAAA
    Dikurangi:
    1. Biaya Jabatan                                                 Rp. BBBB
      (5% X Pengh.Bruto max: Rp6.000.000 pertahun)
    2. Iuran lain yang terikat penghasilan tetap      Rp. CCCC
    Penghasilan Neto                                                 Rp. DDDD
    Dikurangi PTKP *)                                                 Rp. EEEE
    Penghasilan Kena Pajak                                        Rp. FFFF
    Kemudian Penghasilan Kena Pajak tersebut dikalikan Tarif Pasal 17 sbb:
    Penghasilan Kena PajakTarif
    s.d. Rp 50.000.0005%
    diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.00015%
    diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.00025%
    diatas Rp 500.000.00030%

    *) PTKP adalah penghasilan tidak kena pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dengan ketentuan sebagai berikut:
    KeteranganStatusPTKP
    WP tidak kawin dan tidak memiliki tanggunganTK/0Rp.15.840.000
    WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 1 orangTK/1Rp.17.160.000
    WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 2 orangTK/2Rp.18.480.000
    WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 3 orangTK/3Rp.19.800.000
    WP kawin dan tidak memiliki tanggunganK/0Rp.17.160.000
    WP Kawin dan memiliki tanggungan 1 orangK/1Rp.18.480.000
    WP Kawin dan memiliki tanggungan 2 orangK/2Rp.19.800.000
    WP Kawin dan memiliki tanggungan 3 orangK/3Rp.21.120.000
  3. Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 23
    1. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
      • dividen;
      • bunga;
      • royalti;
      • hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
    2. sebesar 2% (dua persen) dari penghasilan bruto tanpa PPN atas penghasilan dari jasa lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008 yang terbit tanggal 31 Desember 2008.
Kewajiban perpajakan di bidang PPN
Jika Koperasi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena
Pajak dan peredaran bruto setahun telah melebihi Rp600.00.000,00 , maka koperasi memiliki kewajiban melakukan pemungutan PPN sebesar 10%, serta menyetorkan dan melaporkan PPN yang terhutang setiap bulan.
Pada prinsipnya seluruh Barang dan Jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak kecuali atas barang-barang dan jasa-jasa yang dikecualikan sebagai berikut:
  1. Kelompok Barang yang Tidak dikenai PPN:
    1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu : minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batubara sebelum diproses menjadi briket batubara dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit;
    2. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu : beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
    3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat ataupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh jasa boga atau catering;
    4. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
  2. Kelompok Jasa yang Tidak dikenai PPN
    1. jasa pelayanan kesehatan medis;
    2. jasa pelayanan sosial;
    3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
    4. jasa keuangan;
    5. jasa asuransi;
    6. jasa keagamaan;
    7. jasa pendidikan;
    8. jasa kesenian dan hiburan;
    9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
    10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
    11. jasa tenaga kerja;
    12. jasa perhotelan;
    13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
      pemerintahan secara umum;
    14. jasa penyediaan tempat parkir;
    15. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
    16. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
    17. jasa boga atau katering.
      Mekanisme Pajak Keluaran
      Pajak keluaran;                                    Rp.XXXX
      (10% kali nilai DPP atas penjualan)
      Pajak Masukan;                                   Rp.YYYY (-)
      (10% kali nilai DPP atas penjualan)
      PPN yang kurang (lebih) bayar;            Rp.ZZZZ

    Perhitungan tersebut dilaporkan dalam SPT Masa PPN setiap bulan dengan menggunakan formulir 1107 atau menggunakan e-SPT DJP yaitu program SPT Masa PPN yang dibagikan secara gratis oleh DJP.
    Perlakuan Khusus Perpajakan untuk Koperasi
    1. Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga berupa bunga simpanan lebih dari Rp240.000,00 per bulan dan bersifat final.
    2. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Rp240.000,00 sebulan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Final (PP No. 15 Tahun 2009).

    NoJenis PenghasilanTarif
    1Dividen, Bunga, Royalti, Hadiah;15%
    2Sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)2%
    3Imbalan jasa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang PPh :
    1. Jasa penilai;
    2. Jasa aktuaris;
    3. Jasa akuntansi, pembukuan dan atestasi laporan keuangan;
    4. Jasa perancang;
    5. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang migas;
    6. Jasa penunjang migas;
    7. Jasa penambangan dan jasa penunjang penambangan selain migas;
    8. Jasa penunjang penerbangan dan bandara;
    9. Jasa penebangan hutan termasuk land clearing;
    10. Jasa pengolahan/pembuangan limbah;
    11. Jasa penyedia tenaga kerja;
    12. Jasa perantara dan/atau keagenan;
    13. Jasa perdagangan surat berharga kecuali oleh Bursa Efek, KSEI, dan KPEI;
    14. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan kecuali oleh KSEI;
    15. Jasa pengisian suara dan/atau sulih suara;
    16. Jasa mixing film;
    17. Jasa software komputer,termasuk perawatan, pemeliharaan & perbaikan;
    18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/ telepon/ air/ gas /AC/ TV kabel, selain yang dilakukan oleh WP yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
    19. Perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin, listrik / telepon/ air / gas /AC / TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh WP yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
    20. Jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan;
    21. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, jasa pembasmian hama & jasa pembersihan, jasa catering/tata boga

     sumber :http://www.pajak.go.id

Fenomena Politik Suap Kepala Daerah: Masalah dan Solusinya

 

I. Pendahuluan
Praktik suap menyuap di Indonesia sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Khususnya dalam institusi pelayanan yang berkaitan dengan publik. Memberikan uang atau barang dalam rangka mempercepat proses yang berkaitan dengan birokrasi. Pemberian itu sebagai tanda agar dipercepat urusannya tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
Terlalu lumrahnya praktik kotor ini, Deputi Bidang Informasi dan Data KPK DR M Syamsya Ardisasmita DEA menyebutkan, Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang giat mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Berdasarkan hasil surveynya, Indonesia nilai Indeks Persepsi Korupsinya (IPK) pada tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih. Indonesia jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK ini merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Survey Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance reform yang dikutip Demartoto (2007). Hampir setengahnya atau 48 persen dari jumlah pejabat yang ada di Indonesia pernah menerima pembayaran tidak resmi alias suap.
Baru-baru ini, contoh pejabat publik yang terjerat kasus suap adalah Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Pada Oktober 2011 lalu, Wali Kota Bekasi Moctar Muhammad sujud syukur setelah Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Mahkamah Agung (MA) menganulir keputusan bebas Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pindana Korupsi (7/3/2012). MA berdalih bahwa politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu terbukti menyuap dan menerima suap.
MA menjelaskan, Mochtar terbukti melakukan penyuapan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Jawa Barat. Modusnya, ia meminta pimpinan satuan kerja di Pemerintah Kota Bekasi untuk menyisihkan dua persen uang proyek sampai terkumpul Rp 4,5 miliar. Atas perintah Mochtar, Rp 4 miliar itu diberikan kepada anggota DPRD Jawa Barat agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi segera disetujui.
Kasus serupa menimpa Soemarmo, wali kota Semarang. Pria yang juga diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjadi tersangka dalam kasus suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2012. Pria yang sebelumnya berkarir sebagai sekretaris daerah ini telah ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Cipinang selama 20 hari Sejak 30 Maret lalu.
Kasusnya teruangkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap 2 Anggota DPRD Sumartono dan Agung Pumo Sarjono serta Sekda Akhmat Zaenuri pada Oktober 2011 lalu. Ketiganya telah ditahan lebih dulu.
II. Suap: Pengertian dan Faktor Penyebabnya
Muladi (dalam Alkostar, 2008, h.10) menjelaskan, suap (bribery) bermula dari kata briberie (Prancis) yang artinya begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandang). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ‘a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis. Seiring dengan berjalannya waktu, bribe bermakna “sedekah’ (alms), blackmail atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup.
Tidak jauh berbeda, Campbell (dalam Alkostar 2008, h.10) bribery juga bisa berarti the offering, giving, receiving or soliciting of someting of value for the purpose of influence the action an official in the discharge of his of her public or legal duties. Penawaran, pemberian, penerimaan atau pengumpulan sesuatu yang berharga dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan pegawai dalam pelaksanaan tugasnya secara umum atau legal.
Sementara Transparansi International (dalam Simanjuntak, 2008, h.1) mendefinisikan secara operasional, suap itu merupakan tindakan membayar uang secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan atau kemudahan dalam proses birokrasi.
Muladi menilai, suap menyuap yang dilakukan secara bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik sering disebut sebagai inti dari tindak pidana korupsi. Wikipedia Indonesia menjelaskan (dalam www.wikipedia.org), korupsi dalam bahasa Latin berarti corruptio. Kata kerjanya corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik dan menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, unsur-unsur yang mencakup tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana prasana; memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, masih merujuk pada Wikipedia, yang masuk dalam tindak pidana korupsi: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara; terakhir, menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara).
Menurut Juniadi Soewartojo (dalam Demartoto, 2007, h. 22-35), korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma dengan menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan, penerima atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya, yang dilakukan dalam kegiatan penerimaan dan atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan, serta dalam perizinan atau jasa lainnya dengan tujuan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan atau keuangan dan atau kekayaan negara atau masyarakat.
Wertheim (dalam Revida, 2003, h.2), seseorang pejabat publik dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang, orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk jasa juga termasuk dalam korupsi.
Sedangkan Masyarakat Transparansi Indonesia (dalam Renaldi, 2007, h.54) memberikan pengertian bahwa tindakan disebut korupsi apabila suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubunganya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasi.
Ada pun menurut sudut pandang hukum, suatu tindakan dinyatakan sebagai korupsi telah dijelaskan secara jelas dalam 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasar-pasal tersebut korupsi dirumuskan kedalam 30 jenis tidak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara gamblang mengenai perbuatan yang bisa dikenalkan sanksi pidana korupsi. Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi itu dikelompokan menjadi tujuh:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan dalam pengadaan
7. Gratifikasi.
Ciri-ciri korupsi ini, menurut Alatas (1981) dalam Demartoto (2007, h.89-102), diantaranya: pertama, dilakukan secara berjamaah. Kedua, bersifat rahasia dalam bertindak. Ketiga, melibatkan kewajiban dan timbal balik, dimana kewajiban atau keuntungan itu tidak melulu berupa uang. Ada pun penyebab tumbuh suburnya korupsi adalah adalah:
a. Ketiadaan kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tindakan laku yang menjinakan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Peninggalan jaman kolonial.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Tiadanya tindakan hukum yang keras
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
Penelitian Sing (1974) dalam Revida (2003, h.2) menemukan bahwa terjadinya korupsi di India adalah karena kelemahan moral (41,3 %), tekanan ekonomi (23,8 %), hambatan struktur administrasi (17,2%) hambatan struktur sosial (7,08 %). Merican (1971) dalam Revida (2003, h.3) mengurai sebab-sebab korupsi adalah peninggalan pemerintahan kolonial, kemiskinan dan ketidaksamaan, gaji yang rendah, pengaturan yang bertele-tele dan pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya. Sementara Ainan (1982) dalam Revida (2003, h.3), tindakan korupsi yang begitu marak bisa disebabkan karena;
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba-loma untuk korupsi.
e. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f. Lain dengan di Nigeria, orang tidak dapat menolak suapan dan korupsi kecuali menganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g. Ketika orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari pendapat para ahli itu, bisa penulis bisa menyimpulkan bahwa sebab-sebab tumbuh suburnya korupsi tidak lepas dari: income atau pendapatan seorang pegawai yang kurang sehingga untuk menambah pengahasilannya, ia berkorupsi atau menerima sogokan. Kedua, masih ada kaitannya dengan faktor yang pertama, adalah mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara instan sehingga melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Ketiga, tindakan korupsi tidak bisa lepas dari sejarah masa lalu, atau peninggalan kolonialisme. Bangsa Indonesia telah dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda. Tidak bisa lepas dari masa lalu. Keempat, nilai-nilai atau pemahaman etika yang minim dari para pelaku pengambil kebijakan atau pegawai. Kelima, penegakan hukum yang masih kurang. Setumpuk peraturan baik itu perundang-undangan atau peraturan lain dibuat, namun tidak dilaksanakan sehingga menjadi macan kertas saja yang tidak berfungsi apa-apa.
III. Dampak Suap-Menyuap
Korupsi termasuk di dalamnya suap-menyuap memberikan dampak yang sangat luar biasa terhadap tatanan roda pemerintahan. Nye (dalam Revida, 2003, h.3) menjelaskan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi menjadikan: pertama, pemboroan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian serta bantuan yang lenyap. Kedua, ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilalihan kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. Ketiga, pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Sedangkan Mc Mullan (1961) dalam Revida (2003, h.3) menyatakan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan. Pertama, ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusaah asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijakan pemerintah dan tidak represif.
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa bila suap-menyuap tidak diberantas, maka kepercayaan masyakarat terhadap pemerintah akan berkurang. Sehingga mereka akan melakukan caranya sendiri-sendiri dalam menyelesaikan setiap masalah terutama yang berurusan dengan hukum.
Selain itu, suap menyuap juga menjadikan biaya operasional pemerintahan menjadi membengkak. Anggaran yang seharusnya diprioritaskan untuk kesejahteraan masyarakat, malah masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat, atau memperkaya diri.
IV. Solusi
Lalu bagaimanakah menindak pola suap dan korupsi ini? World Bank (dalam Demartoto, 2007, h. 89-102) memberikan tiga rekomendasi bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi dibutuhkan penyelesaian yang komprehensif. Yaitu, pertama, membangun birokasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan prestasi dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrasi.
Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan. Ketiga, menegakan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik juga hendaknya memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan publik.
Sedangkan Organisation for Economic Co-Operation Development (OECD) (dalam Jeremy Pope, 2008) telah mengembangkan prinsip-prinsip untuk memberantas korupsi secara sistematik. Prinsip-prinsip ini dapat disesuaikan dengan keadaan setiap negara. Sekalipun tidak memadai, prinsip-prinsip ini bisa digunakan acuan. Prinsip tersebut adalah:
a. Standar etika pelayanan publik harus jelas.
b. Standar etika ini harus tercermin dalam kerangka hukum.
c. Harus tersedia pedoman etika bagi pegawai negeri.
d. Pegawai negri harus tahu hak dan kewajiban ketika dihadapkan pada prilaku tercela.
e. Dukungan kemauan politik pada etika dapat memperkuat perilaku etis pada pegawai negeri.
f. Proses pengambilan keputusan harus transparan dan terbuka untuk diuji.
g. Harus ada pedoman yangjelas untuk interaksi sektor publi dengan sektor swasta.
h. Pimpinan harus memberikan teladan dan mendorong perilaku beretika.
i. Kebijakan pengelolaan perilaku prosedur dan praktik beretika harus mendorong perilaku beretika itu sendiri.
j. Persyaratan kerja pelayanan publik dan pengelolaan sumber daya manus harus dapat mendorong perilkau beretika.
k. Harus ada mekanisme pertanggungjawaban yang memadai dalam pelayanan publik.
l. Harus ada prosedur dan sanksi yang tepat untuk menghadapi perilaku tercela.
Kartono (1983) dalam Revida (2003, h.4) memberikan saran untuk pembasmian korupsi sebagai berikut: Pertama, adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh. Kedua, menanamkan aspirasi nasional yang positif yang mengutakan kepentingan bangsa. Ketiga, para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
Keempat, adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi. Kelima, mereorganisasi dan merasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departeman beserta jawatan di bawahnya. Keenam, adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan achievment dan bukan berdasarkan ascription. Tujuh, adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah. Delapan, menciptakan aparatur pemerintah yang jujur. Sembilan, sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi dibarengi sistem kontrol yang efisien; terakhir, pencatatan ulang terhadap kekayaan peroraan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Achmad Fauzi SHI calon hakim di Pengadilan Agama Balikpapan secara spesifik memberikan solusi atas suburnya suap, dengan tranparenscy. Baginya, tumbuh suburnya praktik suap karena tersumbatnya kran informasi sehingga menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung etos kerja aprat. Mengutif Jeremy Bentham, Fauzi menjelaskan bahwa setiap budaya ketertutupan selalu ada kepentingan jahat yang menungganginya. Jadi sepanjang tidak ada keterbukaan, selama itu pula keadilan tidak akan tegak.
V. Kesimpulan
Suap menyuap merupakan tindakan menyalahgunakan kekuasaan dalam rangka tujuan pribadi atau kelompoknya dalam rangka mempercepat proses birokrasi. Tindakan ini tidak dibenarkan karena bisa merugikan negara. Disamping itu, bisa menghambat pembangunan. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat jadi beralih untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Untuk itu, cara penanggulangannya adalah dengan supremasi hukum. Artinya, institusi penegak hukum harus bertindak terhadap para penyelenggara pemerintahan bila mana ada yang melakukan suap menyuap. Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam membasmi penyakit ini sangat dibutuhkan.
Daftar Pustaka
Buku
Alkostar, SH LLM, DR, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta
Jeremy, Pope, 2008, Strategi Memberantas Korupsi, Tansparansi Internasional dan Transparansi Internasional Indonesia, Jakarta
Renaldi, Taufik, dkk, 2007, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, Bank Dunia
Simanjuntak, Frenky, Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap, Transparansi Internasional Indoensia, USAID dan Millenium Challenge Corporation
Artikel Jurnal
Demartoto, Argiyo, 2007, Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Spirit Publik, No. 2 Tahun 2007,
Makalah
Ardisasmita DEA, M Syamsa, Dr, Definisi Korupsi Perspektif Hukum dan E-Announcement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparan dan Akuntabel, disampaikan dalam Seminar Nasional Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, 23 Agustus 2006.
Revida, Erika Dra, MS, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumetera Utara.
Fauzi SHI, Achmad, Membendung Godaan Suap Penegak Hukum
Majalah dan Koran
Majalah Tempo, 25 Maret 2012.
Harian Detik Sore, 11 April 2012.
Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi